Tunggu ...

Filosofi Iket

Filosofi Iket Sunda

"…saceundeung kaen" (Bujangga Manik, isi naskah baris 36)

Penggalan kalimat di atas terdapat di dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih hidupnya sebagai resi. Naskah kuno tersebut diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14. Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi 56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.

Kalimat “…saceundeung kaen” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan sebagai penutup kepala. Di Tatar Sunda disebut totopong, iket, ataupun udeng. Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada perhelaan resmi seperti upacara dan musyawarah adat. 

Untuk beberapa waktu, umumnya kain penutup kepala hanya disebut totopong, iket, atau udeng. Tidak ada bukti tertulis mengenai sumber sejarah tentang penamaan iket atau yang sekarang disebut rupa iket. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai dan makna tersendiri.

Penamaan atau rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, yaitu iket buhun (kuno) dan iket kiwari (zaman sekarang). Iket buhun sendiri ada yang berupa bentuk iket yang telah menjadi warisan turun-temurun dari para leluhur, ada pula rupa iket yang lahir dari kampung adat. Sementara itu, iket kiwari merupakan rekaan dari beberapa orang yang memiliki rasa kebanggaan (reueus: Sunda) terhadap budaya iket buhun dan kreativitas dari nilai kearifan lokal.

Beberapa rupa iket kiwari itu sendiri masih memiliki ciri khas yang mengacu pada pola rupa iket buhun. Beberapa nama rupa iket buhun yang dikenal oleh sebagian besar umumnya adalah Barangbang Semplak, Parekos Jengkol, Parekos Nangka, dan Julang Ngapak. Parekos atau paros memiliki arti “menutup” yang berarti tipe rupa iket yang menutup bagian atas kepala atau hampir membungkus.

Dalam perupaan iket, di dalamnya lerkandung filosofi. Hal inilah yang membuat iket itu sendiri menjadi salah satu warisan leluhur yang mengandung nilai yang begitu tinggi adanya. Seperti filosofi yang terkandung dalam rupa iket Julang Ngapak yang konon dahulunya dipakai khusus oleh para pandita kerajaan atau disebut purahita.

Filosofi yang terkandung berdasar kepada laku hidup seekor burung Julang (Sundanese wrinkled hornbill). Tipe burung ini sebelum mereka mendapatkan sumber air, mereka tidak akan berhenti mencari. Karakter inilah yang diadopsikan menjadi simbol Julang Ngapak, yaitu bahwa kita jangan pernah lelah mencari sumber kehidupan (ilmu, darma, dan jatidiri) sebelum mencapai hasil yang diinginkan.

Di luar rupa atau penamaannya, iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan sebutan Dulur Opat Kalima Pancer. Dulur Opat merupakan empat inti kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. secara garis besar, Dulur Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.

Mengenai iket kiwari yang telah berkembang saat ini, penamaan dan bentuk tetap berdasar kepada pola rupa iket buhun. Tanpa mengurangi nilai luhur dari warisan para leluhur. Iket kiwari pun tentunya memiliki nilai-nilai filosofi yang menjadi bagian dari pelestarian budaya kreatif dengan tetap memegang teguh nilai kearifan lokal. Kalangan generasi muda memiliki cara pandang berbeda dalam membentuk iket tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya buhun (kuno).

Komunitas Iket Sunda (KIS) sendiri merupakan bentuk kreativitas sebagai wadah dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya iket Sunda terhadap kalangan muda dengan memperkenalkan iket Sunda Praktis siap pakai tanpa perlu melipat dan mengikat dari kain lepasan segi empat. Tujuannya untuk mempermudah saat pemakaian.

Keberkaitan
Dalam konteks keberagaman, sesungguhnya ada keberkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah dan pengganti tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan Allah Yang Pencipta yang disebut hablu minallah. Fungsi sebagai hablu minanas adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan warisan budaya dan iket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu pengetahuan.

Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad saw, mereka menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.

Di tatar nusantara sendiri, kita mengenal Wali Songo. Dari beberapa sumber sejarah, mereka (para wali) semua memakai penutup kepala. Menurut Oom Somara de Uci, sejarawan dari Rahagaluh, dahulu model rupa iket para wali diadopsi dari rupa iket Cakraningrat warisan Prabu Cakraningrat yang memiliki kekuasaan kerajaan sekitar Rajagaluh Majalengka. Iket yang di kemudian hari disebut iket Cakraningrat Rajagaluh ini mengandung nilai filosofi yaitu iket yang melindungi mustika; mastaka (kepala).

Ini bisa bermakna, mustika ini adalah kepala kita yang memiliki sumber dari sifat dan sikap kita di dunia dari sudut pandang manusia yang memiliki otak sebagai akal pikiran yang bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bahkan, dalam perkembangan waktu, model iket Cakraningrat ini disebut pula iket para wali.

Perbedaan iket Cakraningkat dengan iket Sunda lazimnya terlihat dari model kain. Iket Sunda pada umumnya berupa kain segi empat, sedangkan iket Cakraningrat memakai kain persegi panjang sejenis karembong (selendang). Cara pemakaiannya rata-rata hanya diselipkan, tidak diiket atau ditali. Cara yang sama seperti pemakaian serban di kepala. Memang tidak ada sejarah tertulis sebagai bukti yang mendukung tentang iket Cakranignrat ini, tetapi keberadaanya menjadi bagian dari kekayaan budaya Sunda. Wallahu’alam bishawab.

Sumber: Gugum Gumelar, pencinta budaya dan aktif di Komunitas Iket Sunda /*Pikiran Rakyat Edisi Sabtu, 23 Maret 2013

Read more: Arsip Kula
Kategori:
 

About Us | Disclaimer | TOS and Privacy | Info | FAQs
© 2016 Zulzol Distro - Powered by Blogger
Kabupaten Bandung - Jawa Barat